PERMASALAHAN DI PERBATASAN ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA
Sepekan ini, kabar adanya rekruitmen warga negara Indonesia menjadi anggota pasukan paramiliter Malaysia (Askar Wataniah) di perbatasan Indonesia-Malaysia kawasan Kalimantan bergulir dan menjadi komoditas politik. Tulisan ini sekadar mengungkap realitas tersembunyi (disembunyikan) seputar masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, terutama di Kalimantan. Ini akan menjadi penjelas, mengapa kabar Askar Wataniah bergulir.
Akhir-akhir ini, masalah perbatasan antarnegara menjadi perhatian publik internasional saat masalah kejahatan transnasional dianggap sebagai ancaman serius. Salah satu kawasan yang dianggap rentan karena suburnya sindikat kejahatan transnasional adalah kawasan perbatasan di Asia Tenggara, baik di darat maupun perairan. Keseriusan (atau kecemasan) global ini dipicu serangan 11 September 2001 dan kebijakan penangkalnya dalam war against terrorismregime.
Merunut ke belakang, masalah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan menyisakan persoalan historis dan berakibat hingga kini. Perbatasan Kalimantan merupakan kawasan konflik saat Soekarno melancarkan konfrontasi mengganyang Malaysia. Ribuan pasukan reguler dan paramiliter dikerahkan untuk menyokong politik konfrontasi itu.
Realitas kawasan perbatasan Kalimantan yang rentan dan pertahanan yang rapuh menyuburkan bisnis-bisnis ilegal yang terkait kejahatan transnasional, misalnya illegal logging, perdagangan perempuan, dan pengerahan buruh migran tak berdokumen (undocumented migrantworkers).
Ironinya, banyak perkebunan swasta dan BUMN Malaysia memanfaatkan buruh migran Indonesia tak berdokumen yang diselundupkan lewat jalur-jalur tikus yang jumlahnya ratusan di sepanjang perbatasan Kalimantan (Investigasi Migrant CARE, 2004-2005). Kajian Sidney Jones (ICG) mengindikasikan, kawasan perairan Laut Sulawesi atas yang membatasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah pasar gelap senjata dan amunisi untuk konflik di Ambon, Poso, danMoro(FilipinaSelatan).
Dengan menelisik kompleksnya masalah di perbatasan Indonesia-Malaysia, kabar rekruitmen warga Indonesia menjadi paramiliter Askar Wataniah tidak harus ditanggapi secara reaksioner dan menjadi komoditas politik, tetapi harus menjadi pembelajaran dari kegagalan kita mengelola perbatasan. Masalah perbatasan bukan hanya masalah menjaga, tetapi juga menyejahterakan masyarakat pemangku perbatasan.
Melihat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Malaysia kali ini, tentunya kita harus mengantisipasinya dengan tepat. Pihak TNI sendiri memberi solusi dengan membangun sabuk perbatasan, yaitu jalan perbatasan yang dianggap penting untuk mengatasi kondisi medan yang sulit ditempuh.
Dengan dibangunnya sabuk perbatasan tersebut, oleh beberapa kalangan diyakini pencurian kayu oleh Malaysia dan pemindahan patok batas tidak akan berani dilakukan. Di samping itu, ketegasan pemerintah terhadap Malaysia yang berulangkali melakukan kecurangan hubungan bilateral sangat perlu dilakukan.
A. Masalah Perbatasan
1. Selat Malaka
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia, masalah perbatasan
merupakan masalah yang kerap dihadapi. Tumpang tindih pengaturan ZEE dengan beberapa negaratetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik Internasional.
Kaitannya dengan hubungan Indonesia-Malaysia, masalah perbatasan dapat terlihat dalam kasus Selat Malaka dimana kawasan perairan tersebut diklaim oleh beberapa negara yaitu Singapura, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Kenapa Selat Malaka begitu penting? Karena Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan antara negara-negara barat dengan negara-negara timur, sehingga kawasan ini merupakan kawasan yang strategis bagi jalur perdagangan.
Masalah Selat Malaka sempat akan diinternasionalisasikan, namun tidak jadi karena cukup negara-negara pantai yang menjaga perairan tersebut, yaitu Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Penjagaan Selat Malaka dilakukan dengan cooperative security, dimana masing-masing angkatan laut negara-negara pantai melakukan patroli bersama di sekitar wilayah perairan selat Malaka. Hingga sekarang masih belum jelas status daru Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah negara mana.
2. “Hilangnya” Pulau Sipadan-Ligitan dan masalah Ambalat
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau dan terdapat pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Namun kondisi geografis tersebut kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan “hilangnya” Pulau Sipadan-Ligitan, kejadian ini membuat hubungan Indonesia-Malaysia makin memanas.
Sebenarnya skenario “pengambilalihan” Pulau Sipadan-Ligitan telah dipersiapkan sejak lama oleh Malaysia tinggal menunggu waktu yang tepat dan tiba-tiba pada tahun 2000 Malaysia membawa masalah Sipadan-Ligitan ke International Court of Justice (ICJ) yang pada kahirnya dimenangkan oleh Malaysia. Kejadian membuat hubungan Indonesia-Malaysia merenggang dan slogan “ganyang Malaysia!!” kembali terdengan di Indonesia.
Hubungan RI-Malaysiapun makin tegang dan menyeret konflik yang lebih luas. Setelah
mendapatkan Sipadan-Ligitan, Malaysia berambisi menduduki Ambalat yang diduga mengandung minyak dan gas bumi yang nilainnya amat besar mencapai miliaran dollar Amerika4. Krisis hubungan ini dimulai sejak PETRONAS (perusahaan minyak milik Malaysia) memberikan konsesi pengeboran minyak lepas pantai Sulawesi yaitu di blok Ambalat kepada SHELL (perusahaan milik Inggris danBelanda) yang mengakibatkan hubungan Indonesia-Malaysia mengalami ketegangan yang mencemaskan. Dengan munculnya isu Ambalat tersebut, barulah Indonesia meresponnya dengan mengirim armada-armada angkatan lautnya untuk mengamankan blok Ambalat dan bahkan beberapa kali kapal-kapal perang Indonesia dan Malaysia salilng berhadapan dan nyaris baku tembak.
Namun kedua pihak dapat menahan diri, jika salah satu pihak mulai menembak maka dapat terjadi perang terbuka antara Indonesia-Malaysia.Semua kelalaian pemerintah tersebut berakibat fatal terhadap utuhnya wilayah NKRI.
Pertahanan dan keamanan kita terlalu berfokus pada aspek darat dan mengabaikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemerintah juga terlalu lama berkutat dalam masalah ekonomi, politik, korupsi, lalu kurang memperhatikan kondisi pulau-pulau terluar wilayah Indonesia yang menjadi pintu masuk bagi berbagai ancaman dari luar sehingga pada saat muncul konflik pada saat itu pula pemerintah baru sadar dan bertindak untuk mengamankannya.